28
Dec 2021
PEREMPUAN DAN PENDIDIKAN:  Belajar dari Pemikiran Perempuan Pendidik Diskusi dan Refleksi Akhir Tahun 2021
Post by: Yayasan Cahaya Guru
Share:  
 

Selasa, 28 Desember 2021 - Mengakhiri tahun 2021, Yayasan Cahaya Guru (YCG) menyelenggarakan diskusi bertajuk Perempuan dan Pendidikan: Belajar dari Pemikiran Perempuan Pendidik. Diskusi dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Perempuan 22 Desember serta Refleksi Akhir Tahun 2021 ini bertujuan untuk menghadirkan kembali pemikiran para perempuan pendidik yang telah berkontribusi besar terhadap masyarakat dan bangsa serta menghubungkannya dengan wawasan keragaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Narasi-narasi berisi gagasan serta pengalaman dari empat tokoh pendidik perempuan, yakni: Roehana Koeddoes; Dewi Sartika; Gedong Bagoes Oka; dan Maria Walanda Maramis, diharapkan bisa menggugah cara pandang guru terhadap perempuan dan peran perempuan serta menemukan relevansi pemikiran para tokoh untuk pendidikan di masa kini dan nanti.

Ulasan tokoh pertama dipaparkan oleh Yefri Heriani. Kepala Ombudsman Sumatera Barat. Sejak lama, Yefri memiliki ketertarikan khusus terhadap isu kesetaraan gender dan pendidikan. Dalam diskusi, Yefri menceritakan bagaimana Roeahana Koeddoes memperjuangkan nilai kesetaraan serta akses pendidikan terutama perempuan di Kota Gadang-saat itu pada masanya.

Pada masa hidup beliau (1884-1971), tidak semua anak perempuan, terutama di kota Gadang bisa mendapatkan akses terhadap pendidikan formal, termasuk dirinya. Berbeda dengan saudara laki-lakinya yang tetap mendapatkan pendidikan formal. One Roehana belajar baca tulis, berbagai pengetahuan, serta bahasa dari ayahnya yang berprofesi sebagai seorang pendidik, ia juga dibantu oleh tetangga serta neneknya dalam belajar secara mandiri di rumah.

Selain akses terhadap pendidikan formal, One Roehana juga menaruh perhatian khusus terhadap kemandirian serta kesetaraan perempuan. Bercermin dari pengalaman pribadinya, One Roehana memperluas jaringan ketika tumbuh dewasa dan menikah dengan seorang pendidik yang mendukung pergerakannya. Hingga lahirlah Rumah Kerajinan Amai Setia yang menaungi siapapun, perempuan maupun laki-laki untuk belajar secara mandiri dengan dibekali keterampilan khusus.

Ulasan tokoh kedua adalah Dewi Sartika, disampaikan oleh Kenny Dewi Krisdiany, seorang akademisi serta Ketua Yayasan Ahli Waris Pahlawan Nasional Raden Dewi Sartika dan Agah Suriawinata (AWIKA). Menurutnya, gagasan-gagasan Dewi Sartika yang tertuang dalam bukunya dekat dengan kehidupan saat ini, di mana ajaran dalam menanamkan nilai kemandirian dan kebenaran menjadi bagian dari pengajaran selain wawasan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam keseharian.

Besar dalam periode kehidupan yang sama dengan Rohana Koeddoes, Dewi Sartika memiliki privilese untuk mengakses pendidikan formal karena dirinya berasal dari keluarga bangsawan. Namun demikian,  pada usia 10 tahun, Dewi Sartika kehilangan hak belajarnya di sekolah. Ia dititipkan kepada pamannya karena ayahnya diasingkan di Ternate. Berbeda dengan saudara laki-lakinya yang tetap bisa bersekolah, Dewi Sartika diperlakukan sebagai abdi dalam hingga delapan tahun sampai Ibunya kembali dari pengasingan karena sang ayah wafat. 

Pengalaman kehilangan hak pendidikan selama delapan tahun menjadi titik balik bagi Dewi Sartika untuk memperjuangkan pendidikan yang setara, yang bisa diakses oleh siapa saja termasuk anak-anak perempuan. Ia mulai mengajar saudaranya di belakang rumah. Bukan tanpa pertentangan, selain dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah Belanda, Dewi Sartika juga menyuarakan gagasannya berkali kepada Bupati Bandung hingga akhirnya berhasil mendirikan sekolah pertama di Bandung yang menerima anak-anak perempuan sebagai siswanya.

Selanjutnya, Gedong Bagoes Oka menjadi tokoh pendidik perempuan ketiga yang diulas dalam sesi. Kisah dan gagasan Gedong Bagoes Oka disampaikan oleh Isyana Bagoes Oka, satu diantara cucu beliau. Diceritakan sang ayah, Isyana menginternalisasi pentingnya nilai toleransi dan kesetaraan sebagaimana dicontohkan oleh Gedong Bagoes Oka.

Gedong Bagoes Oka lahir dari seorang Ibu dengan pemikiran ortodoks dan seorang ayah dengan pemikirannya yang cenderung modern. Perbedaan ini tidak lantas membuat dirinya berhenti belajar, Gedong Bagoes Oka mengambil kesempatannya untuk mengecap pendidikan formal hingga ke luar pulau. Saat itu, sang ayah bekerja sebagai pembina desa. Ia belajar di HIS Yogyakarta dan belajar kepada seorang pendeta yang menjadi ayah angkatnya. Dialog dengan ayah angkatnya tersebut membuka ruang perjumpaan serta menjadi titik balik kepeduliannya terhadap nilai-nilai toleransi dan keragaman.

Pengalamannya dalam memperjuangkan pendidikan dan perdamaian mengantarkannya pada ajaran Mahatma Gandhi secara langsung pada tahun 1950-an. Sebagai penganut Hindu yang terbilang taat, Gedong Bagoes Oka menanamkan nilai-nilai kebaikan universal dari beragam agama, hingga akhirnya ia mendirikan Ashram Gandhi Candidasa. Selain menyebarkan ajaran Gandhi, ia juga memberikan beasiswa untuk anak-anak yang tidak mampu. Langkahnya tidak berhenti di sana, selain seorang guru dan aktivis, ia juga aktif di dunia politik, menyuarakan nilai-nilai kebaikannya dalam cakupan yang lebih luas.

Terakhir, Maria Walanda Maramis menjadi tokoh pendidik perempuan yang diulas oleh Ruth Keisia Wangkai, seorang pendeta yang juga menaruh perhatian terhadap nilai keragaman dan kesetaraan, khususnya di bagian timur Indonesia. Menurutnya, kisah Maria Walanda Maramis cenderung tenggelam dibalik narasi para pahlawan bangsa, termasuk pahlawan perempuan. 

Lahir dari keluarga sederhana, Maria kehilangan orang tuanya pada usia 6 tahun karena wabah kolera. Ia lalu dibesarkan oleh pamannya, seorang pejabat distrik setara Bupati. Maria menempuh pendidikan formal di Sekolah Rakyat hingga tiga tahun, namun demikian tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi sebagaimana saudara laki-lakinya, meskipun dirinya berasal dari keluarga pejabat.

Pada tahun 1961, Maria kemudian menikah dengan seorang guru yang pandai berbahasa Belanda, pernikahan dengan seorang guru memungkinkan Maria untuk memperluas pendidikan serta pergaulannya. Saat itu, Maria juga tumbuh dalam lingkungan misionaris, hal ini membuka kesempatan Maria untuk belajar dan mengajar. Selain mempelajari nilai kesetaraan, mengumpulkan “anak piara” sebagai langkah penginjilan seperti keluarga misionaris saat itu juga menjadi cikal bakal sekolah berasrama yang didirikannya. Saat itu, Maria mengamati bagaimana istri pendeta tempatnya belajar menunjukkan sikap yang egaliter, momen ini menjadi satu diantara titik balik yang berpengaruh bagi perjuangan Maria. 

Maria berpindah ke Manado pada tahun 1917 karena mengikuti mutasi suaminya, saat itu pengalaman dan wawasan Maria semakin terbuka, ia terus berdialog dengan beragam kawan guru dan menyuarakan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai artikel surat kabar. Ia juga mendirikan sebuah organisasi bernama PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya) yang menyediakan tempat tinggal bagi yang membutuhkan serta mengajar nilai-nilai kebaikan.

Menurut para pemapar yang menjadi teman belajar, nilai dan spirit yang ditanamkan para tokoh pendidik perempuan ini masih relevan dengan pendidikan saat ini. Rohana Koeddoes mencontohkan bagaimana pendidikan ditujukan sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan dirinya sehingga penghargaan terhadap dirinya semakin meningkat.

Dewi Sartika memperlihatkan bagaimana perjuangannya yang berlandaskan pada nilai empati,, dari empati menumbuhkan keberanian. Dengan berbekal empati dan keberanian, disertai kegigihan untuk terus memperjuangkan apa yang diimpikannya yang berfokus untuk membantu atau bermanfaat bagi orang lain.

Selanjutnya, Gedong Bagoes Oka mencontohkan bagaimana upaya pemberdayaan perempuan dalam pendidikan, pentingnya nilai kesetaraan, perjuangan dialog lintas iman serta toleransi yang perlu terus dipupuk. 

Dari Maria Walanda Maramis, kita belajar bagaimana ia menjaga support system dengan cara berelasi dan berinteraksi dengan siapapun yang membantunya terus belajar. Maria mengingatkan bagaimana spirit pembelajaran sepanjang hayat terus diupayakannya.

Menutup diskusi, George Sicilia dan Henny Supolo dari YCG memberikan penguatan yang diambil sebagai refleksi dari sesi. Menurut Sicilia, para pendidik perempuan ini tidak melihat ketidakberdayaan sebagai tolak ukur, sebaliknya justru menghidupkan keberanian yang sudah ada. Semangat ini diharapkan bisa ditularkan kepada sesama kawan guru. Mengingat perjuangan para tokoh pendidik perempuan, kebiasaan dalam membaca dan menuliskan pemikiran mereka menjadi inspirasi yang bisa ditiru.   

Hal serupa juga diutarakan Henny Supolo, ketua Yayasan Cahaya Guru (YCG). Ia mengutarakan bahwa pemikiran yang luar biasa diperlukan untuk membangun narasi perjuangan. Keberanian dan kemandirian yang dikisahkan menjadi pesan utama yang bisa menyebarkan keberanian dan kemandirian yang sama di sekitar.  (CCP/AK)

Back
2023© YAYASAN CAHAYA GURU
DESIGN & DEVELOPMENT BY OTRO DESIGN CO.